Jumat, 14 Mei 2010

Aspek Hukum Kepailitan

Pailit adalah kondisi bangkrutnya seseorang atau badan hukum. Dalam hukum positif Indonesia, yakni Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU), kepailitan diartikan sebagai sita umum atas semua kekayaan debitor pailit. Berdasarkan Undang-Undang ini, debitor yang mempunyai dua atau lebih kreditor dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih dinyatakan pailit dengan putusan pengadilan, baik atas permohonannya sendiri maupun atas permohonan satu atau lebih kreditornya.
Menurut UUK yang baru yakni UU No. 37 tahun 2004 tentang kepailitan dan PKPU, bahwa yang dimaksud kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan debitor pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh curator dibaah pengawasan hakim pengawas. Untuk syarat dinyatakan pailit pada prinsipnya masih sama UU kepailitan No. 4 Tahun 1998, hanya peraturan paalnya saja yang berubah yaitu diatur dalam pasal 2 ayat (1) UUK No. 37 Tahun 2004 ini.

Pengertian pailit
Menurut Peter Mahmud, kata pailit berasal dari bahasa Perancis “failite” yang berarti kemacetan pembayaran. Dalam peraturan kepailitan yang lama, yaitu Fv7 S. 1905 No. 217 jo. 1906 No. 348 yang dimaksud pailit adalah setiap berutang yang ada dalam keadaan berhenti membayar, baik atas laporan sendirimaupun atas permintaan seseorangatau lebih berpiutng, dengan putusan hakim dinyatakan dalam keadaan pailit.
Menurut UUK yang baru yakni UU No. 37 tahun 2004 tentang kepailitan dan PKPU, bahwa yang dimaksud kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan debitor pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh curator dibaah pengawasan hakim pengawas. Untuk syarat dinyatakan pailit pada prinsipnya masih sama UU kepailitan No. 4 Tahun 1998, hanya peraturan paalnya saja yang berubah yaitu diatur dalam pasal 2 ayat (1) UUK No. 37 Tahun 2004 ini.
Dilihat dari beberapa arti kata tersebut diatas, maka esensi kepailitan secara singkat dapat dikatakan sebagai sita umum atas harta kekayaan debitor untuk kepentingan semua Kreditor yang pada waktu Kreditor dinyatakan pailit mempunyai utang.



Syarat-syarat pengajuan pailit
Untuk dapat dinyatakan pailit seorang Debitorharus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
a. Debitor harus mempunyai dua atau lebih kreditor.
b. Tidak membayar sedikitnya satu utang jatuh waktu dan dapat ditagih.
c. Atas permohonannya sendiri atau atas permintaan seseorang atau lebih kreditornya.



Dasar Hukum Kepailitan
Peraturan kepailitan diatur dalam peraturan tersendiri yaitu dalam Fv S. 1905 No. 217 jo. 1906-348 yang mengandung 279 pasal, terdiri dari:
a. Bab I, tentang kepailitan pasal 1 sampai pasal 211.
b. Bab II, tentang penundaan penundaan pembayaran Pasal 212 sampai pasal 279.

Pada 22 April 1998, peraturan kepailitan tersebut disempurnakan melalui PERPU No. 1 tahun 1998 dan pada tanggal 9 september 1998, PERPU tersebut ditingkatkan menjadi UU, yakni UU No. 4 Tahun 1998. Didalam UU kepailitan yang baru ini terdiri dari 289 pasal, yang terbagi dalam 3 bab, yaitu:
a. Bab I, tentang kepailitan mulai dari pasal 1-211.
b. Bab II, penundaan kewajiban pembayaran utang, pasal 212-279.
c. Bab II, tantang pengadilan Niaga, pasal 280-289.

Dalam perjalanan waktunya, UUK No. 4 tahun 1998 ini pun dirasa masih belum mampu mengakomodasi semua kepentingan pihak-pihak dalam penyelesaian msalah utang piutang. Oleh karena itu, perlu dibenahi, disempurnakan baik dari aspek formal maupun materillnya. Maka, pada tanggal 18 November 2004 disahkan dan diundangkanlah UU No. 37 Tahun 2004 tentang kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran utang.


Asas-asas Hukum Kepailitan
Lembaga kepailitan merupakan lembaga hokum yang mempunyai fungsi penting, sebagai relisasi dari dua pasal penting dalam KUH Perdata, yakni pasal 1131 dan 1132 mengenai tanggung jawab debitor terhadap utang-utangnya.
Sementara itu bisa dikatakan bahwa dalam peraturan perundangan yang lama yakni dalam Fv. Kemudian dalam PERPU No. 1 Tahun 1998 maupun UUK No. 4 Tahun 1998 tidak diatur secara eksplisit atau khusus tentang asas-asas yang berlaku dalam kepailitan, namun pada UUK PKPU No. 37 Tahun 2004 didalam penjelasannya menyebutkan bahwa keberadaan UU ini mendasarkan pada sejumlah asas-asas kepailitan, yakni :

a. Asas Keseimbangan
UU ini mengatur beberapa ketentuan yang merupakan perwujudan dari asas keseimbangan, yaitu di satu pihak, terdapat ketentuan yang dapat mencegah terjadinya penyalahgunaan pranata dan lembaga kepailitan oleh debitor yang tidak jujur. Di lain pihak, terdapat ketentuan yang dapat mencegah terjadinya penyalahgunaan pranata dan lembaga kepailitan oleh kreditor yang tidak beritikad baik.

b. Asas Kelangsungan Usaha
Dalam UU ini, terdapat ketentuan yang memungkinkan perusahaan debitor yang prospektif tetap dilangsungkan.

c. Asas Keadilan
Dalam kepailitan asas keadilan mengandung pengertian, bahwa ketentua menenai kepailitan dapat memenuhi rasa keadilan bagi para pihak yang berkepantingan.

d. Asas Integrasi
Asas Integrasi dalam UU ini mengandung pengertian ahwa system hokum formil dan hokum materillnya merupakan satu kesatuan yang utuh dari system hukum perdata dan hukum acara perdata nasional.



Pihak yang dapat mengajukan pailit
Sebelum berlakunya UU No. 4 Tahun 1998, maka pihak-pihak yang dapat mengajukan permohonan kepailitan kepengadilan negeri ada tiga, yaitu:
a. Debitor sendiri.
b. Seorang kreditor atau lebih.
c. Jaksa penuntut umum.

Kemudian dalam PERPU No. 1 Tahun 1998 vjo. UUK No. 4 Tahun 1998, pihak-pihak yang mengajukan pailit telah berubah menjadi lima pihak, yaitu :
a. Debitor sendiri.
b. Seorang kreditor atau lebih,
c. Kejaksaan untuk kepentingan umum.
d. Bank Indonesia.
e. Badan Pengawas Pasar Modal.

Berikutnya UUK PKPU No. 37 Tahun 2004, tentang pihak-pihak yang dapat mengajukan pailit ditambahkan satu lagi yakni oleh Menteri Keuangan.



Pihak-pihak Yang Dapat Dinyatakan Pailit
Debitor yang tidak mempunyai dua atau lebih kreditor dan tidak membayar sedikitnya satu utang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih dan dapat dijatuhi keputusan kepailitan. Maka berdasarkan hal-hal tersebut diatas pihak-pihak yang bias dinyatakan paailit adalah:
a. Orang atau badan pribadi.
b. Debitor yang telah menikah.
c. Badan-badan hokum.
d. Harta Warisan.


Hukum Acara Kepailitan
Hukum acara yang berlaku dalam menyelesaikan kepailitan adalah hokum acara perdata sebagaimana dinyatakan dalam UUK Pasal 284 ayat (1), maka terhadap pengadilan niaga berlaku hokum acara perdata, kecuali ditentukan lain dengan UU ini. Penjelasan Ayat (1) menyebutkan bahwa, ketua Mahkamah Agung (MA) memberikan bimbingan dan melakukan pengawasan terhadap jalannya peradilan ditingkat pertama dan apabila ada, ditingkat banding agar pelaksanaan persidangn dalam pengadilan niaga berjalan sesuai ketentuan UU tentang kepailitan sebagaimana diubah dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undand-Undamg No. 1 Tahun 1998 ini.



Kewenangan Penyelesaian Sengketa Kepailitan
Berdasarkan PERPU No. 1 Tahun 1998 yang kemudian ditingkatkan menjadi UUK No. 4 Tahun 1998, yang berwenang menyelesaikan masalah kepailitan adalah pengadilan niaga yang merupakan pengkhususan pengadilan dibidang perniagaan yang dibentuk dalam lingkup peradilan umum, dengan menggunakan hukum acara perdata kecuali UU ini menentukan lain. PERPU tersebut kemudian ditingkatkan menjadi UUK No. 4 Tahun 1998, dan mengenai pengadilan niaga diatur secara khusus didalam bab tersendiri yakni pada bab ketiga mulai dari pasal 280-289. Pengadilan niaga memeriksa dan memutus perkara pada tingkat pertama dengan hakim majelis, akan tetapi dalam hal menyangkut perkara lain dibidang perniagaan, Ketua MA dapat menetapkan jenis dan nili perkara pada tingkat pertama dengan hakim tunggal.
Terhadap putusan pengadilan niaga ditingkat pertama, hanya dapat diajukan kasasi kepada MA, dan terhadap putusan pengadilan niaga yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap dapat diajukan peninjauan kembali kepada MA apabila terdapat bukti tertulis baru yang penting dan apabila pengadilan niaga yang bersangkutan telah melakukan kesalahan berat dalam penerapan hukum.
Kemudian dalam UUK yang baru yakni UUK PKPU No. 37 Tahun 2004, pengaturan tentang pengadilan niaga dimasukkan dalam bab V “ketentun lain-lain“ mulai pasal 299-302 dan juga menyebar di berbagai pasal lainnya serta penyebutannya cukup dengan kata-kata “pengadilan“ saja tanpa ada kata “niaga“. Hal ini dengan merujuk ketentuan pasal 1 ayat (7) UUK PKPU bahwa “pengadilan“ adalah “pengadilan niaga“ dalam lingkungan peradilan umum.
Kemudian berjalannya waktu, pengaturan tentang pengadilan niaga tidak diatur secara khusus, akan tetapi menyebar di berbagai pasal dalam UUK PKPU tersebut serta penyebutannya cukup dengan kata-kata “pengadilan” saja. Hal ini dengan merujuk ketentuan pasal 1 ayat (7) UUK PKPU bahwa pengadilan adalah pengadilan niaga dalam lingkungan peradilan umum.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar